-Pusat perdagangan dan industri di Gresik yang mengalami perubahan fungsi-
“ Tinjauan Hystoris “
Oleh : Deny Wahyu Apriadi
“ Kampung Kemasan “, nama daerah ini sudah cukup familiar bagi telinga saya, sejak kecil saya sering mendengar orang-orang membahas mengenai daerah ini, namun dikarenakan pada saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, maka secara sadar saya belum mengerti dengan jelas seperti apakah wujud dan kondisi daerah yang sering saya dengar tersebut, bahkan letaknyapun saya belum mengetahuinya, hal ini merupakan bentuk real karena saya belum pernah singgah dan mencoba sebelumnya datang ke daerah tersebut. Pada saat saya sudah berada pada bangku sekolah menengah atas, maka keinginan saya untuk mengetahui daerah yang sering saya dengar tersebut semakin kuat, hal ini saya mulai dengan mencoba menelusuri letak daerah tersebut.
Penelusuran saya saat itu belum mencapai hasil optimal, saya hanya sekedar mengetahui letak daerah tersebut tanpa menganalisisnya lebih dalam, melihat pada hal tersebut maka saat ini, saat saya sudah duduk di bangku perkuliahan, saya tergelitik kembali untuk meneruskan misi saya yaitu untuk mengenal lebih dekat daerah yang sering saya dengar dari kecil tersebut, sekaligus sebagai bentuk aktualisasi usaha dalam menyusun sebuah karya etnografi pertama saya sebagai seorang calon Antropolog. Demi mendapatkan hasil analisis yang akurat, saya melakukan beberapa hal pokok, yaitu dimulai dari proses observasi ( pengamatan ) kemudian dilanjutkan dengan turun lapangan langsung pada daerah kawasan kampung kemasan tersebut, serta saya tidak lupa melakukan serangkaian kegiatan depth interview ( wawancara mendalam ) dengan pihak yang berkopenten dan relevan di bidangnya yaitu pihak yang faham betul mengenai kampung kemasan ini, baik dalam segi sejarah, perkembangan masyarakatnya serta hal-hal pendukung lainnya.
Namun dengan semakin cepatnya arus modernisasi zaman, maka banyak sekali perubahan yang bersifar social dan cultural yang ada di kawasan ini, hal penting yang ada salah satunya adalah mengenai pergeseran fungsi kawasan kampung kemasan dari pusat industri pada masa kolonial Belanda menjadi kawasan permukiman saat ini ( P ) merupakan hal yang melatarbelakangi penulisan karya etnografi ini. Bersama Bpk. H Noet, beliau merupakan budayawan sekaligus pemilik sebagian rumah diantara rumah-rumah tua yang berada tepat di Kampung Kemasan tersebut, sehingga hal ini semakin membantu saya di dalam proses pengumpulan data yang nantinya diharapkan dapat menunjang karya etnografi saya dari penuturan depth interview ( wawancara mendalam ) yang beliau paparkan. Menurut Bpk. H Noet kampung Kemasan dulunya sebelum dihuni atau diubah sedemikian rupa, terdapat penghuni lama yang tempatnya masih di sekitar kampung kemasan ini, warga tersebut yaitu seorang warga keturunan china yang bernama “Bak liong“.
Beliau adalah seorang pedagang emas sekaligus pembuat emas. Sehingga terdapat beberapa versi mengenai asal muasal nama kampung kemasan ini, ada argumentasi yang menyebutkan bahwa di namakan kampung kemasan karena adanya pedagang dan pembuat emas (Tukang mas) yang berada di sekitar kampung kemasan sehingga masyarakat sekitar menamainya kampung kemasan, dan hal ini perlu ditegaskan dengan jelas bahwa nama kampung kemasan bukan karena adanya pertambangan emas ataupun ada orang dari bawean yang menamainya kampung kemasan, namun menurut penuturan H. Noet adanya Tukang mas di kawasan tersebut yang membuat masyarakat mengidentikan daerah itu dengan sebutan kampung kemasan. Menurut keterangan dari H. Noet, kampung kemasan ini dulunya didirikan dan diprakasai oleh H. Oemar, beliau memiliki 5 orang anak dan salah satunya adalah kakek dari H. Noet, dan nama-nama anak dari H. Oemar diantaranya adalah : H. Asnar, H. Djaelan, H. Djainudin ( kakek dari Bpk. H. Noet), H. Muchsin, dan H. Abdul Dja’far. Pada kehidupannya keluarga H. Oemar beserta anaknya mendirikan sebuah toko yang menjual kulit dan terdiri dari bermacam-macam kulit antara lain : kambing, sapi, kerbau, ular, buaya. ( D )
Usaha toko kulit ini berada di kawasan kampung kemasan, sehingga geliat industri di daerah ini sangat maju pesat sekali, bahkan orang-orang yang berasal dari eropa, china juga berdagang dan melakukan kegiatan perdagangan di kampung kemasan ini, namun semakin lama fungsi kawasan kampung kemasan ini semakin berganti, yaitu yang awalnya berupa pusat perdagangan dan sentra perindustrian, maka pada saat ini, kawasan ini hanya dijadikan sebatas pemukiman penduduk tanpa ada lagi kegiatan perdagangan dan perindustrian ( J ). Kembali pada usaha industri kulit milik H. Oemar tadi, dengan pangsa pasar yang luas akhirnya membuat usaha kulit tersebut menjadi berhasil dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga pada tahun 1986 setelah H. oemar sudah tidak bekerja lagi, toko kulit pun menyebar dan membuka berbagai cabang sehingga usaha ini secara bertahap di jalankan oleh kelima orang anak nya tersebut.
Penyebaran penjualan kulit ini kebanyakan dilakukan di pulau jawa terutama di Jawa Timur, Jawa Tenggah, Jawa Barat, dan DKI. Jakarta. Hal inilah yang merupakan suatu keistimewaan dari kota Gresik di bandingkan kota lainnya, yaitu jika di kota lain hampir seluruh perdagangan di kuasai oleh masyarakat luar kota tersebut tetapi di Gresik posisi tersebut sebaliknya, hampir dari seluruh perputaran perdagangan di Kota Gresik, di kuasai oleh orang Pribumi asli Gresik. Kembali kepada Istilah kampung kemasan itu sendiri adalah merupakan nama suatu wilayah perkampungan yang berada di kawasan kabupaten Gresik, kecamatan Gresik, dan tepatnya terletak di kelurahan Pekelingan. Bila kita lihat lebih dalam, kampung kemasan ini merupakan bentuk “ Part Of “ ( Bagian ) dari kawasan kota lama Gresik yang secara nyata merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kabupaten Gresik, peranan yang penting dari pola perkampungan ini yaitu memiliki nilai “ Hystory “ ( Sejarah ) yang tinggi dan kekhasan kawasan tersebut bila dilihat dari aspek fisiknya. Secara tegas, bahwa keberadaan kampung kemasan tidak lain adalah merupakan sebutan bagi penggalan sebuah gang sepanjang sekitar 200 meter yang membentuk pola pemukiman, dan cocok bila kita gunakan untuk mencoba menelusuri makna local dari suatu tempat ( K ).
Hal itu mengenai nama daerah, atau hal-hal yang lainnya, maka versi yang lainnya menyebutkan bahwa nama kemasan di sini masih ada hubungannya dengan status suatu kelompok masyarakat tertentu yang konon ceritanya dari kelompok atau marga “kemas”. Hal ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan rumah tempat tinggal kelompok tersebut di daerah kemasan yang bergaya Eropa dan China. Gaya Eropa dapat dilihat dari pilar-pilar penyangga atap, bentuk jendela dan pintu yang relatif besar. Sedangkan gaya arsitektur China dapat dilihat pada bentuk atap dan pemakaian warna serba merah pada catnya. Sejak didirikan bangunan-bangunan rumah tersebut pada tahun 1909, sejak itulah kompleks ini dinamakan Kampung Kemasan. Kampung ini terletak di Jalan Nyai Ageng Arem-arem Gang III, dan obyek yang diamati berupa bangunan-bangunan rumah tinggal yang terletak di kiri dan kanan gang sepanjang 200 m. Melihat kondisi yang ada, bangunan rumah tersebut masih terawat dengan baik, dikarenakan masih ditempati sebagai rumah tinggal dan bagian atasnya dimanfaatkan untuk budidaya Burung Walet.
Lokasi ini pada abad ke-19 M merupakan kawasan perdagangan dan perindustrian bagi orang-orang Eropa dan kaum pribumi yang cukup mapan dari segi ekonomi. Bangunan-bangunan di kanan dan kiri gang ini memiliki arsitektur perpaduan antara corak Eropa dan China. Unsur Eropa dapat dilihat pada tampak depan bangunan, yang umumnya memiliki susunan anak tangga yang makin mengecil ke atas, dengan tiang-tiang bergaya doria dan ionia, serta pintu jendela berukuran besar dengan lengkung-lengkung di bagian atasnya. Terdapat tambahan dari versi yang pertama tadi yang dipaparkan oleh H. M. Noet mengenai cerita seorang turunan Cina yang bernama Bak Liong yang mempunyai keterampilan membuat kerajinan dari emas. Keterampilannya inilah yang menjadikan dia terkenal dan banyak penduduk yang datang untuk membuat atau memperbaiki perhiasannya. Sejak itu kawasan yang ditempati ini dinamakan kampung kemasan. Unsur China tampak pada sejumlah ornamen maupun tempat hio di pintu gerbang rumah. Sebagian besar rumah-rumah tersebut berlantai dua. Menurut tradisi lisan bahwa dimasa pendirian rumah-rumah ini seluruhnya didominasi oleh warna merah.
Rumah-rumah ini dihuni oleh orang-orang yang masih mempunyai hubungan keluarga, dan termasuk rumah megah untuk ukuran zamannya. Penduduk sekitarnya menyebut dengan istilah kemasan yang berkonotasi masa-masa keemasan. Di kampung kemasan ini banyak di temukan rumah-rumah kuno dan beberapa bagiannya memiliki sejarah penting bagi pengetahuan generasi penerus bangsa. Selain dapat di temukan bangunan tua yang memiliki ciri khas unik, ternyata juga banyak terdapat beberapa cerita menarik sebagai lanjutan berbagai versi asal mula kampung kemasan ini, sehingga hingga saat ini orang sekitar menamai kampung ini sebagai kampung kemasan. Kampung kemasan sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya hingga sekarang, dan saat ini menjadi salah satu icon pariwisata budaya di kota Gresik, hal ini dikarenakan kawasan tersebut memiliki bangunan kuno yang memiliki seni arsitektur yang unik dan indah sehingga dapat mengajak wisatawan untuk dapat menikmati bangunan tua tersebut. Namun, setelah melakukan depth interview ( wawancara mendalam ) ternyata pengukuhan wilayah tersebut sebagai icon pariwisata kota Gresik banyak menuai ganjalan baik secara tertulis mengenai pengesahan dari pemerintah daerah maupun cerita yang simpang siur mengenai kebenaran dari sejarah kampung kemasan itu sendiri.
Dalam segi arsitektur terlihat sepintas bahwa bangunan-bangunan tua yang ada di kampung kemasan ini adalah bangunan orisinil dari china, hal ini dikarenakan penggunaan warna cat dari tembok maupun penyangganya yang identik dengan warna merah dan putih, bisanya warna tersebut banyak kita jumpai di daerah pecinan yang dimana bangunan-banguan disana juga memiliki warna yang hampir sama. Tetapi dibalik cat tembok maupun pilar yang berwarna merah itu, ternyata sebagian besar adalah arsitektur eropa, di mana ada pilar-pilar besar di depannya, kemudian ada ukiran-ukiran menyerupai lukisan di antara dinding-dinding nya dan hal ini menunjukkan bahwa bangunan tua ini adalah perpaduan antara arsitektur china, eropa, dan Indonesia, identitas bangunan Indonesianya berada di dalam bangunan yang menyerupai rumah joglo.
Karya arsitektur ini didapatkan karena banyaknya pembeli atau pedagang yang berasal dari dataran China dan dataran Eropa dan akhirnya membuat H. Oemar mempunyai suatu inisiatif sendiri untuk memadukan antara arsitektur China, Eropa, dan Indonesia. Hal ini juga dapat disebut sebagai bentuk toleransi antara berbagai bentuk budaya suku bangsa yang ada, sehingga pada suatu saat bila ada bangsa China atau Eropa yang datang, mereka nantinya dapat merasakan seperti berada di kampung halamannya sendiri. Dengan ukiran ataupun warna-warna cat yang ada mengakibatkan banyaknya perbedaan dan keunikan yang membuat orang itu kagum akan adanya perpaduan arsitek dari berbagai belahan dunia itu. Salah satu keunikannya ketika kita masuk yang kita liat pertama kali yaitu adanya tiang-tiang besar penyangga bangunan dan tembok-temboknya yang berwarna merah dan putih, bahkan ketika kita menggangkat kepala sedikit kelantai dua, disana terdapat berbagai macam model arsitektur eropa, dan ketika kita masuk ke dalam rumah, maka semua pandangan kita tentang model arsitek Jawa juga dapat kita rasakan yaitu dengan adanya bentuk pintu yang menyerupai rumah joglo. Tidak hanya berhenti disitu keunikan yang lain juga ada ketika kita menaiki lantai dua. Awal nya kita akan berfikir di lantai dua nantinya akan ada ruangan-ruangan atau kamar seperti rumah-rumah yang ada pada zaman sekarang, namun hal tersebut meleset, justru yang kita lihat di lantai dua itu hanyalah terdapat ruangan kosong yang di jadikan searang burung walet.
Model arsitektur yang tampak dari luar itupun merupakan tipuan mata bagi orang yang melihat dari sisi luar saja tanpa melihat bagian dalam. Ini juga mencermikan kemabali perkataan orang bijak bahwa janganlah hanya melihat dari luar saja tetapi yang terpenting adalah dalamnya, artinya meskipun dari luar telihat seperti bangunan china dan eropa tetapi didalamnya tetap bernuansa Jawa. Menurut data yang saya dapatkan rumah-rumah yang berada di kampung kemasan itu ada 12 rumah yang beronamen sama, itu di karenakan penghuni dari ke 12 ruamh itu di huni oleh oarang memiliki keturunan yang sama dengan pendiri dan pembangun kampung kemasan itu yang tidak lain adalah keluarga H. Oemar.
Di samping itu ada lagi anak dari H. Oemar yang bernama H. Djaelan yang bertempat tinggal tidak jauh dari kampung kemasan itu, rumah H. Djaelan ini juga memiliki keunikan tersendiri yaitu berupa patung yeng membelakangi kampung kemasan. Hal ini dikarenakan adanya keretakan silaturahmi antara keluarga H. Djaelan dengan saudaranya-saudaranya yang berada di kampung kemasan, sehingga H. Djaelan menaruh patung gajah di depan rumah nya kemudian arah kepalanya menghadap rumah H. Djaelan dan bagian belakangnya menghadap ke arah kampung kemasan. Awal dari keretakan itu adalah masalah persaingan dagang. Hal tersebut hanya merupakan bentuk tambahan dari sejarah yang ada di kawasan kampung kemasan. Terlepas dari hal tersebut, bagi saya pada akhirnya kampung kemasan itu saat ini hanya di jadikan sebagai tempat wisata budaya ( A ) yang berupa bangunan tua dan sudah di patenkan oleh pemerintah kota meskipun sampai saat ini tanpa ada penanganan lebih lanjut lagi, hal ini dikarenakan pemerintah kota hanya sekedar mengambil nama kampung kemasan untuk koleksi referensi tempat wisata saja, namun seharusnya pemerintah kota menyadari point penting dari keunikan itu, dan kemudian dijalankan kembali upaya-upaya perlindungan dan perawatan kawasan kampung kemasan tersebut.